Pada suatu malam.
Danar, Kakek, dan Kurcaci diundang untuk menghadiri acara pesta yang akan
diadakan oleh Kepala Suku Pedalaman Rao. Pesta dimeriahkan oleh para
penari-penari yang mengelilingi api unggun. Danar, Kakek, dan Kurcaci diberi
jamuan makanan dan minuman. Lila putri Kepala Suku Rao tampak sedang membawa
buah-buahan.
“Bolehkah aku
meminta buah itu satu saja?” kata Kurcaci.
“Tentu saja boleh!
Buah-buahan ini memang untuk Anda tuan berwajah tampan.” Kata Putri Lila.
Kurcaci tersenyum
tersipu-sipu mendengar pujian Putri Lila.
Danar dan Kakek
tertawa melihat tingkah Kurcaci.
Acara pesta
berlangsung dengan meriah.
Esok harinya di
rumah, Kurcaci sedang tersenyum-senyum melihat wajahnya pada cermin yang
dipegangnya.
Danar dan Kakek
datang ke rumah Kurcaci, mereka berdua heran melihat tingkah Kurcaci.
“Kenapa kamu
senyum-senyum sendiri sambil memandangi cermin ini?” tanya Danar kepada
Kurcaci.
Perkataan Putri Lila
benar, wajahku memang tampan!”
Kata Kurcaci. Danar
dan Kurcaci tertawa mendengar perkataan Kurccai.
“Kurcaci bukankah
hari ini kita sepakat akan membuat jembatan penyeberangan. Ayolah kita segera
berangkat! Nanti keburu siang,” kata Danar.
Dengan membawa
peralatan yang dibutuhkan, mereka pergi ke sungai untuk membuat jembatan
penyeberangan.
Di perjalanan mereka
bertemu dengan salah seorang Suku Pedalaman. Suku Pedalaman itu memberitahukan,
bahwa Kepala Suku Rao sakit keras. Orang itu minta pertolongan Kakek untuk
mengobati Kepala Suku Rao.
Mereka berempat
segera pergi menuju perkampungan suku pedalaman. Di perkampungan suku
pedalaman, Putri lila sedang menangis sambil menunggu ayahnya yang sedang
sakit.
Tiba-tiba datanglah
seseorang yang mengenakan bajui aneh dan berjubah dengan ditemani seekor singa.
Orang itu mengaku sebagai Dewa Penolong yang datang dari langit.
Dewa Penolong
meminta Putri Lila untuk mengambil dedaunan dan biji-bijian. Dewa Penolong
membuat ramuan dari dedaunan dan biji-bijian, lalu ramuan obat tersebut
diminumkan ke Kepala Suku Rao.
Setelah meminum
ramuan obat itu, kesehatan Kepala Suku Rao berangsur-angsur membaik. Kepala Suku
Rao dan Putri Lila mengucapkan terima kasih pada Dewa Penolong. Setelah itu
Dewa Penolong pergi.
Rombongan Danar tiba
di perkampungan Suku Pedalaman. Kakek bergegas memeriksa kesehatan Kepala Suku
Rao.
“Kesehatanku mulai
mebaik, setelah tadi diobati oleh Dewa Penolong,” kata Kepala Suku Rao yang
masih berbaring.
Danar, Kakek, dan
Kurcaci penasaran dan ingin tahu keberadaan Dewa Penolong. Beberapa hari
kemudian, kesehatan Kepala Suku Rao sudah kembali membaik seperti semula.
Kepala Suku Rao
mengadakan upacara sebagai tanda terima kasih kepada Dewa Penolong. Di saat
upacara sedang berlangsung, Dewa Penolong datang dengan menunggang seekor singa.
Dewa Penolong berkata pada penduduk Suku Pedalaman.
“Wahai penduduk
semua, ketahuilah, bahwa tak lama lagi akan ada bencana yang akan menimpa
kampung ini. Akan tetapi kalian jangan khawatir bencana itu dapat ditolak
dengan cara kalian harus mengumpulkan gading gajah sebanyak mungkin. Kemudian
serahkan gading-gading itu kepadaku, dengan gading gajah itu akan menghentikan
bencana itu!”
Orang-orang Suku
Pedalaman mempercayai perkataan Dewa Penolong tersebut.
Esok harinya,
orang-orang Suku Pedalaman mengadakan perburuan gajah yang akan diambil
gadingnya. Perburuan gajah itu diketahui oleh Danar, Kakek, dan Kurcaci.
“Hentikan pemburuan
gajah-gajah itu!” kata Danar.
“Tega benar kalian
akan membunuh gajah-gajah itu!” kata Danar lagi.
“Maafkan kami Danar,
sebenarnya kami tidak tega membunuh gajah-gajah itu. Dewa Penolong yang
menginginkan gading gajah-gajah itu, untuk menghentikan bencana yang akan
menimpa kami semua,” kata Kepala Suku Rao.
Tiba-tiba datang
Dewa Penolong dengan menunggang singanya.
“Kalian bertiga
telah mengacaukan rencana Dewa Penolong, kamu akan mendapatkan ganjaran yang
setimpal,” seru Dewa Penolong.
Dewa Penolong
mengacungkan tongkatnya ke arah mereka bertiga. Dari ujung tongkat itu
keluarlah cahaya merah yang membahayakan. Untung Danar, Kakek, dan Kurcaci
dapat menghindarinya. Orang-orang Suku Pedalaman lari berhamburan karena takut.
Dewa Penolong memerintahkan
singanya untuk menyerang mereka bertiga. Kakek dan Kurcaci lari menyelamatkan
diri. Sementara Danar masih berdiri menghadapi singa buas itu.
“Aku tak mau
mencelakai binatang itu,” kata Danar.
Ketika singa itu
akan menerkam, dengan gerakan cepat Danar terbang melesat ke angkasa. Sehingga
Danar dapat lolos dari terkaman singa itu.
Merasa buruannya
dapat lolos, singa itu berbalik mengejar Kurcaci. Agar tidak diterkam singa
buas itu, Kurcaci memanjat ke sebuah tebing berbatu.
Bebatuan yang
diinjak Kurcaci longsor. Sehingga Kurcaci terjatuh. Danar yang melihat kejadian
itu segera menukik ke bawah, kemudian menyambar tubuh Kurcaci. Kurcaci pun
dapat diselamatkan. Bebatuan yang longsor itu jatuh menimpa tubuh singa.
Seketika tubuh singa
hancur berkeping-keping. Rupanya singa itu bukan singa sungguhan melainkan
singa robot. Dewa Penolong marah melihat singa robotnya telah hancur, lalu ia
mengeluarkan sebuah peluit, kemudian ditiupnya peluit itu. Suara peluit membuat
telinga Danar, Kakek, dan Kurcaci sakit.
“Ha… ha… ha… Peluit
itu bukan peluit biasa, melainkan peluit ultrasonic ciptaanku. Suara peluit ini
tak berpengaruh pada telingaku, karena aku memakai helm penutup telinga yang
telah aku rancang khusus,” kata Dewa Penolong.
Danar, Kakek, dan Kurcaci
sudah tak kuat lagi menahan sakit di telinga. Akhirnya mereka bertiga jatuh
pingsan. Lalu Dewa Penolong menekan sebuah tombol di gelangnya. Beberapa saat
kemudian, sebuah pesawat berbentuk kotak terlihat meluncur di angkasa. Kemudian
pesawat itu mendarat di hadapan Dewa Penolong. Dewa Penolong memasukkan Danar,
Kakek, dan Kurcaci ke dalam pesawat.
Pesawat berbentuk
kotak itu terbang ke angkasa. Beberapa saat kemudian, pesawat itu masuk ke
sebuah gua besar yang letaknya di lereng gunung. Danar, Kakek, dan Kurcaci
disekap di dalam berjeruji besi.
“Kalian bertiga
menjadi tawananku, kalian tak bisa menggagalkan keinginanku ha… ha… ha…!”
“Sebenarnya aku
bukan Dewa Penolong, namaku adalah Indi Si Jenius!”
“Kemampuanku adalah
meramu obat dan menciptakan peralatan canggih. Aku tinggal di gua ini sejak dua
tahun lalu. Orang-orang Suku Pedalaman sengaja aku kelabui, agar mereka
menyerahkan gading gajah padaku!” kata Indi yang menyamar jadi Dewa Penolong.
“Kamu benar-benar
keterlaluan!” kata Danar.
“Terserah apa katamu
yang penting aku bisa kaya dengan gading-gading gajah itu!” kata Indi.
Malam harinya Danar
mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya. Ia dapat membentangkan jeruji besi
di ruang penyekapan itu. Danar, kakek, dan Kurcaci dapat bebas.
Ketika mereka akan
keluar dari dalam gua, Indi telah menghadang mereka di mulut gua.
“Kalian rupanya mau
meloloskan diri ya?” kata Indi sambil mengacungkan tongkatnya ke arah mereka
bertiga.
“Nih terimalah
tongkat sinar laserku!” kata Indi lagi.
Dari ujung tongkat
Indi memancarkan sinar merah yang mengarah ke mereka bertiga.
Di saat itu Kurcaci
teringat dengan cermin yang selalu dibawanya. Ia mengambil cermin yang terselip
di ikat pinggangnya. Kemudian cermin itu digunakan untuk menangkis sorot sinar
laser.
Sinar laser itu
memantul ketika mengenai cermin Kurcaci,.
Pantulan sinar laser
mengenai tubuh Indi. Seketika itu tubuh Indi menjadi kaku. Indi telah menerima
akibat dari ulahnya sendiri.
Untungnya aku selalu
membawa cermin,” kata Kurcaci sambil melihat wajahnya di cermin. “Memang ada
untungnya kamu selalu membawa cermin itu,” kata Danar sambil tertawa. Kemudia
mereka menyerahkan Indi yang tubuhnya sudah kaku itu kepada polisi hutan. “Orang
ini adalah kolektor yang suka mengumpulkan binatang-binatang yang sudah diawetkan,”
kata Pak Polisi.
“Ia sudah lama jadi
buronan Polisi,” kata Pak Polisi lagi. Binatang-binatang milik Indi yang sudah
diawetkan disita oleh Politi. Pak Polisi amat berterima kasih kepada mereka
bertiga.
Danar, Kakek, dan
Kurcaci senang karena dapat menggagalkan kejahatan Indi. Danar menceritakan
tentang kejahatan Indi kepada Kepala Suku Rao.
Kepala Suku Rao
menyesal pada dirinya sendiri yang telah dikelabuhi oleh penjahat indi. Sejak
saat itu orang-orang Suku Pedalaman berjanji tidak akan lagi mengadakan
pemburuan gajah. Mereka juga akan melindungi gajah-gajah di hutan itu.
Esok harinya Danar,
Kakek, dan Kurcaci diundang lagi menghadiri pesta oleh Kepala Suku Rao. Danar
dan kakek menari diiringi musik ceria. Sementara itu Kurcaci duduk sambil
menyantap jagung rebus.
Tiba-tiba Putri Lila
mendekati, “Hai tampan, apakah kamu mau tambah minuman lagi?”
“Oh… tentu,” kata
Kurcaci sambil mengambil segelas minuman lagi. Setelah itu, Kurcaci segera
mengambil cermin yang terselip di ikat pinggangnya. Ia tersenyum-senyum sambil
memandangi wajahnya di cermin yang dibawanya.
“Aku memang
benar-benar tampan,” kata Kurcaci.
Mereka yang sedang
berpesta tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Kurcaci.
Karya : Salma Della M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar