Sabtu, 01 November 2014

Dewa Penolong

Pada suatu malam. Danar, Kakek, dan Kurcaci diundang untuk menghadiri acara pesta yang akan diadakan oleh Kepala Suku Pedalaman Rao. Pesta dimeriahkan oleh para penari-penari yang mengelilingi api unggun. Danar, Kakek, dan Kurcaci diberi jamuan makanan dan minuman. Lila putri Kepala Suku Rao tampak sedang membawa buah-buahan.
“Bolehkah aku meminta buah itu satu saja?” kata Kurcaci.
“Tentu saja boleh! Buah-buahan ini memang untuk Anda tuan berwajah tampan.” Kata Putri Lila.
Kurcaci tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian Putri Lila.
Danar dan Kakek tertawa melihat tingkah Kurcaci.
Acara pesta berlangsung dengan meriah.

Esok harinya di rumah, Kurcaci sedang tersenyum-senyum melihat wajahnya pada cermin yang dipegangnya.
Danar dan Kakek datang ke rumah Kurcaci, mereka berdua heran melihat tingkah Kurcaci.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri sambil memandangi cermin ini?” tanya Danar kepada Kurcaci.
Perkataan Putri Lila benar, wajahku memang tampan!”
Kata Kurcaci. Danar dan Kurcaci tertawa mendengar perkataan Kurccai.
“Kurcaci bukankah hari ini kita sepakat akan membuat jembatan penyeberangan. Ayolah kita segera berangkat! Nanti keburu siang,” kata Danar.
Dengan membawa peralatan yang dibutuhkan, mereka pergi ke sungai untuk membuat jembatan penyeberangan.

Di perjalanan mereka bertemu dengan salah seorang Suku Pedalaman. Suku Pedalaman itu memberitahukan, bahwa Kepala Suku Rao sakit keras. Orang itu minta pertolongan Kakek untuk mengobati Kepala Suku Rao.
Mereka berempat segera pergi menuju perkampungan suku pedalaman. Di perkampungan suku pedalaman, Putri lila sedang menangis sambil menunggu ayahnya yang sedang sakit.
Tiba-tiba datanglah seseorang yang mengenakan bajui aneh dan berjubah dengan ditemani seekor singa. Orang itu mengaku sebagai Dewa Penolong yang datang dari langit.
Dewa Penolong meminta Putri Lila untuk mengambil dedaunan dan biji-bijian. Dewa Penolong membuat ramuan dari dedaunan dan biji-bijian, lalu ramuan obat tersebut diminumkan ke Kepala Suku Rao.

Setelah meminum ramuan obat itu, kesehatan Kepala Suku Rao berangsur-angsur membaik. Kepala Suku Rao dan Putri Lila mengucapkan terima kasih pada Dewa Penolong. Setelah itu Dewa Penolong pergi.
Rombongan Danar tiba di perkampungan Suku Pedalaman. Kakek bergegas memeriksa kesehatan Kepala Suku Rao.
“Kesehatanku mulai mebaik, setelah tadi diobati oleh Dewa Penolong,” kata Kepala Suku Rao yang masih berbaring.
Danar, Kakek, dan Kurcaci penasaran dan ingin tahu keberadaan Dewa Penolong. Beberapa hari kemudian, kesehatan Kepala Suku Rao sudah kembali membaik seperti semula.
Kepala Suku Rao mengadakan upacara sebagai tanda terima kasih kepada Dewa Penolong. Di saat upacara sedang berlangsung, Dewa Penolong datang dengan menunggang seekor singa. Dewa Penolong berkata pada penduduk Suku Pedalaman.
“Wahai penduduk semua, ketahuilah, bahwa tak lama lagi akan ada bencana yang akan menimpa kampung ini. Akan tetapi kalian jangan khawatir bencana itu dapat ditolak dengan cara kalian harus mengumpulkan gading gajah sebanyak mungkin. Kemudian serahkan gading-gading itu kepadaku, dengan gading gajah itu akan menghentikan bencana itu!”
Orang-orang Suku Pedalaman mempercayai perkataan Dewa Penolong tersebut.

Esok harinya, orang-orang Suku Pedalaman mengadakan perburuan gajah yang akan diambil gadingnya. Perburuan gajah itu diketahui oleh Danar, Kakek, dan Kurcaci.
“Hentikan pemburuan gajah-gajah itu!” kata Danar.
“Tega benar kalian akan membunuh gajah-gajah itu!” kata Danar lagi.
“Maafkan kami Danar, sebenarnya kami tidak tega membunuh gajah-gajah itu. Dewa Penolong yang menginginkan gading gajah-gajah itu, untuk menghentikan bencana yang akan menimpa kami semua,” kata Kepala Suku Rao.
Tiba-tiba datang Dewa Penolong dengan menunggang singanya.
“Kalian bertiga telah mengacaukan rencana Dewa Penolong, kamu akan mendapatkan ganjaran yang setimpal,” seru Dewa Penolong.
Dewa Penolong mengacungkan tongkatnya ke arah mereka bertiga. Dari ujung tongkat itu keluarlah cahaya merah yang membahayakan. Untung Danar, Kakek, dan Kurcaci dapat menghindarinya. Orang-orang Suku Pedalaman lari berhamburan karena takut.

Dewa Penolong memerintahkan singanya untuk menyerang mereka bertiga. Kakek dan Kurcaci lari menyelamatkan diri. Sementara Danar masih berdiri menghadapi singa buas itu.
“Aku tak mau mencelakai binatang itu,” kata Danar.
Ketika singa itu akan menerkam, dengan gerakan cepat Danar terbang melesat ke angkasa. Sehingga Danar dapat lolos dari terkaman singa itu.
Merasa buruannya dapat lolos, singa itu berbalik mengejar Kurcaci. Agar tidak diterkam singa buas itu, Kurcaci memanjat ke sebuah tebing berbatu.
Bebatuan yang diinjak Kurcaci longsor. Sehingga Kurcaci terjatuh. Danar yang melihat kejadian itu segera menukik ke bawah, kemudian menyambar tubuh Kurcaci. Kurcaci pun dapat diselamatkan. Bebatuan yang longsor itu jatuh menimpa tubuh singa.

Seketika tubuh singa hancur berkeping-keping. Rupanya singa itu bukan singa sungguhan melainkan singa robot. Dewa Penolong marah melihat singa robotnya telah hancur, lalu ia mengeluarkan sebuah peluit, kemudian ditiupnya peluit itu. Suara peluit membuat telinga Danar, Kakek, dan Kurcaci sakit.
“Ha… ha… ha… Peluit itu bukan peluit biasa, melainkan peluit ultrasonic ciptaanku. Suara peluit ini tak berpengaruh pada telingaku, karena aku memakai helm penutup telinga yang telah aku rancang khusus,” kata Dewa Penolong.

Danar, Kakek, dan Kurcaci sudah tak kuat lagi menahan sakit di telinga. Akhirnya mereka bertiga jatuh pingsan. Lalu Dewa Penolong menekan sebuah tombol di gelangnya. Beberapa saat kemudian, sebuah pesawat berbentuk kotak terlihat meluncur di angkasa. Kemudian pesawat itu mendarat di hadapan Dewa Penolong. Dewa Penolong memasukkan Danar, Kakek, dan Kurcaci ke dalam pesawat.

Pesawat berbentuk kotak itu terbang ke angkasa. Beberapa saat kemudian, pesawat itu masuk ke sebuah gua besar yang letaknya di lereng gunung. Danar, Kakek, dan Kurcaci disekap di dalam berjeruji besi.
“Kalian bertiga menjadi tawananku, kalian tak bisa menggagalkan keinginanku ha… ha… ha…!”
“Sebenarnya aku bukan Dewa Penolong, namaku adalah Indi Si Jenius!”
“Kemampuanku adalah meramu obat dan menciptakan peralatan canggih. Aku tinggal di gua ini sejak dua tahun lalu. Orang-orang Suku Pedalaman sengaja aku kelabui, agar mereka menyerahkan gading gajah padaku!” kata Indi yang menyamar jadi Dewa Penolong.
“Kamu benar-benar keterlaluan!” kata Danar.
“Terserah apa katamu yang penting aku bisa kaya dengan gading-gading gajah itu!” kata Indi.

Malam harinya Danar mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya. Ia dapat membentangkan jeruji besi di ruang penyekapan itu. Danar, kakek, dan Kurcaci dapat bebas.
Ketika mereka akan keluar dari dalam gua, Indi telah menghadang mereka di mulut gua.
“Kalian rupanya mau meloloskan diri ya?” kata Indi sambil mengacungkan tongkatnya ke arah mereka bertiga.
“Nih terimalah tongkat sinar laserku!” kata Indi lagi.
Dari ujung tongkat Indi memancarkan sinar merah yang mengarah ke mereka bertiga.
Di saat itu Kurcaci teringat dengan cermin yang selalu dibawanya. Ia mengambil cermin yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian cermin itu digunakan untuk menangkis sorot sinar laser.
Sinar laser itu memantul ketika mengenai cermin Kurcaci,.
Pantulan sinar laser mengenai tubuh Indi. Seketika itu tubuh Indi menjadi kaku. Indi telah menerima akibat dari ulahnya sendiri.

Untungnya aku selalu membawa cermin,” kata Kurcaci sambil melihat wajahnya di cermin. “Memang ada untungnya kamu selalu membawa cermin itu,” kata Danar sambil tertawa. Kemudia mereka menyerahkan Indi yang tubuhnya sudah kaku itu kepada polisi hutan. “Orang ini adalah kolektor yang suka mengumpulkan binatang-binatang yang sudah diawetkan,” kata Pak Polisi.
“Ia sudah lama jadi buronan Polisi,” kata Pak Polisi lagi. Binatang-binatang milik Indi yang sudah diawetkan disita oleh Politi. Pak Polisi amat berterima kasih kepada mereka bertiga.
Danar, Kakek, dan Kurcaci senang karena dapat menggagalkan kejahatan Indi. Danar menceritakan tentang kejahatan Indi kepada Kepala Suku Rao.
Kepala Suku Rao menyesal pada dirinya sendiri yang telah dikelabuhi oleh penjahat indi. Sejak saat itu orang-orang Suku Pedalaman berjanji tidak akan lagi mengadakan pemburuan gajah. Mereka juga akan melindungi gajah-gajah di hutan itu.

Esok harinya Danar, Kakek, dan Kurcaci diundang lagi menghadiri pesta oleh Kepala Suku Rao. Danar dan kakek menari diiringi musik ceria. Sementara itu Kurcaci duduk sambil menyantap jagung rebus.
Tiba-tiba Putri Lila mendekati, “Hai tampan, apakah kamu mau tambah minuman lagi?”
“Oh… tentu,” kata Kurcaci sambil mengambil segelas minuman lagi. Setelah itu, Kurcaci segera mengambil cermin yang terselip di ikat pinggangnya. Ia tersenyum-senyum sambil memandangi wajahnya di cermin yang dibawanya.
“Aku memang benar-benar tampan,” kata Kurcaci.

Mereka yang sedang berpesta tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Kurcaci.

Karya : Salma Della M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar